Dalam seminggu ini, hidup terasa berat. Kenapa? Karena saya rasa banyak hal dalam kehidupan saya yang terlalu berat dan melelahkan. Mungkin juga karena “pms” yang melanda seminggu sebelum ritual perbulan terjadi pada wanita, namun juga karena dalam seminggu ini ada beberapa orang dan peristiwa yang lewat (dalam percakapan juga dengan tulisan). Misalnya, dalam suatu pembicaraan maya dengan seorang teman di luar negeri, kami berbicara tentang cita-cita kami. Dan saya pun mulai berbicara dengan dia tentang cita-citanya. Kami sampai dimana kami berbicara tentang “fasilitas-fasilitas” yang ada dalam sekitar kami dan dia mulai berbicara tentang apa yang dia punya di sekitar kehidupannya. Dan dia hanya mengucapkan satu pernyataan dengan satu kalimat yang sangat sederhana saja, saya mulai menangis. Menangis karena saya merasa bahwa dia hidup dalam mimpi saya, bahwa saya tidak punya kapabilitas yang sama dengan dia untuk bisa berada secara nyata di mimpi saya. Jika saya ceritakan hal ini kepada orang “awam”, saya yakin orang akan bilang ‘gw ngerti banget kok’, atau ‘iya siihh…tapi…’ , atau jawaban-jawaban diplomatis lainnya. Bukan itu yang saya inginkan.
Lalu saya temukan bahwa, yang saya inginkan adalah keluar dari hidup ini. Keluar dari negeri ini untuk kehidupan yang lebih baik. Tapi, semuanya berubah. Sampai pada suatu hari yang indah, adalah hari ini, dimana saya bersama teman-teman saya minum kopi dan mulai berbicara tentang hidup kami , apa yang terjadi di negeri ini , dll. Pembicaraan yang sangat panjang. Di dalam pembicaraan itu kami benar-benar berdiskusi tentang masalah “ pribadi “ atau yang biasa disebut masalah “anak afs” (maaf kalo sebut merk) dan disitulah saya bertanya pada salah satu senior, ka anggie (salam buat kak anggie ku tersayang..!). saya bertanya apakah dia pernah lelah dan capek dalam menghadapi semua tempaan dimana orang tidak peduli lagi dengan sekitarnya dan orang tidak peduli lagi dengan dirinya sendiri dan juga dengan tidak membaiknya kehidupan lalu lintas di jakarta raya ini yang benar-benar membuat kaki cekat-cekot, punggung perih dan muka amburadul. Lalu dia memjawab, “sampe sekarang aja gw masih ada rasa capek itu”.
Deng doonggg…..
Sampe sekarang pun dia masih mengalami yang saya sebut dengan “sensibilitas tingkat tinggi” !!
Sebenarnya bukan adaptasinya yang berat disini, namun rasa “ingin mengubah” itu yang berat. Karena saya saking ingginya membuat suatu perbedaan dalam hidup saya dan juga orang lain dan pada kenyataannya saya menemuai kekecewaan tingkat tinggi, saya jadi stress! Hal ini juga terjadi pada teman2 di pertemuan meja makan hari ini sambil meminum kopi bali dengan susu kental manis. Lalu satu teman baik saya mulai berbicara tentang teorinya yang baru bahwa sekarang ia tidak mau membuat suatu perbedaan lagi. Dia sudah capek dengan istilah “kill the system and change it!” . tapi malah ia ingin membuat suatu “pemberdayaan” disekitar.
Deng doonggg……(lagi…..)
PEMBERDAYAAN itu yang saya tidak lakukan! Itu yang membuat saya stress! Karena saya tidak memberdayakan apa yang saya punya agar jadi berguna di sekitar saya. Malahan saya ingin membuat suatu perbedaan yang besar sehingga itu membuat saya lelah dan putus asa.
Hari ini sudah melelahkan sekali karena saya mendapat banyak in put dari orang-orang yang sudah lebih lama mengalami “sensibilitas tingkat tinggi” . Hari ini pun bersejarah karena saya menemukan lagi alasan kenapa saya tetap tinggal. Saya tinggal karena memang ini hidup yang saya inginkan. Hidup di Jakarta ini….( yang penuh hiruk pikuk, keringat, macet, belanja, politik, iklan, dan hal-hal lainnya yang terjadi sangat nyata tapi tak seindah yang diucapkan ) ternyata ada hal yang istimewa di hati saya. Yaitu keluarga, sahabat, dan juga teman-teman “sensibilitas tingkat tinggi” (anak afs…you guys know what im saying..rite? hehe). Minum kopi bali dengan susu kental manis sambil bicara tentang “hidup” membuat saya ingin tetap mencintai negeri ini atau yang lebih spesifik adalah tetap tinggal dengan segala konsekuensinya.
Hari ini saya mendapat pelajaran yang sangat besar. Bahwa butuh orang yang besar untuk merubah apa yang ada disekitarnya dan dirinya. Namun, butuh orang yang lebih besar untuk tinggal dan tetap menjadi orang yang memberdayakan apa yang ada disekitarnya yang nantinya (mungkin) akan membuat suatu perbedaan.
Setuju tidak?
Kalau saya, setuju!
niniet
Friday, September 08, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment